Mengapa Orang Papua Ingin Merdeka?
Posted by: mediasi rakyat Posted date: 05.57 / comment : 0
Permasalahan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terjadi sejak permulaan integrasi Papua ke dalam NKRI. Proses integrasi yang dipaksakan melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 sesungguhnya tidak adil karena hanya melibatkan 1.045 orang. Dari jumlah tersebut tidak semuanya orang Papua. Bahkan ironinya, hampir semua peserta PEPERA dikondisikan untuk memilih bergabung dengan NKRI.
Setelah diintegrasikan fase berikutnya adalah operasi militer dan intelejen untuk menghancurkan rakyat Papua yang berideologi lain. Kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menyuarakan keadilan di atas tanah Papua dihancurkan secara sistematis. Atas nama keutuhan NKRI, pembunuhan, penghilangan dan pemerkosaan terhadap rakyat Papua dilegalkan.
Fase selanjutnya adalah eksploitasi sumber daya alam dan transmigrasi. Sumber daya alam, terutama hasil hutan, hasil laut, tambang dan minyak bumi dikeruk. Pada waktu yang bersamaan, dengan alasan demi pemerataan penduduk, ribuan orang didatangkan ke tanah Papua melalui program transmigrasi.
Eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua terus berlangsung, sementara manusia Papua terabaikan bahkan terlupakan. Akibatnya, setelah 43 tahun (1969-2013) manusia Papua tetap terbelakang. Bahkan penduduk dan orang Papua yang berdiam di tanah ini tercatat sebagai manusia termiskin di Indonesia. Ironi yang tidak dapat diterima dengan akal sehat, sebab Papua terkenal sebagai pulau terkaya di Indonesia bahkan di seantero jagad, tetapi penduduknya hidup miskin.
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat Papua, kita tidak perlu menggunakan aneka teori sosial, sebab ke mana mata memandang, pasti dijumpai orang Papua yang hidup melarat. Perumahan kumuh, tanpa fasilitas yang memadai, pendidikan dan kesehatan yang terbelakang. Akibatnya mata rantai kebodohan terus berlanjut. Dan lebih tragis lagi kondisi kesehatan orang Papua yang sangat memprihatinkan. Kehidupan ekonomi orang Papua berada jauh di bawah kaum imigran yang menguasai semua sektor ekonomi.
Jurang kesenjangan sosial dan ekonomi yang sangat dalam tentu menimbulkan gesekan yang sering digiring ke ranah politik. Setiap kali orang Papua mengekspresikan kekecewaan atas berbagai bentuk ketidakadilan yang dialaminya, selalu diberi stigma makar.
Orang Papua pantas berteriak dan memperjuangkan nasibnya karena setelah sekian puluh tahun digabungkan dengan Indonesia, mereka tidak mengalami kemajuan apa pun. Pembangunan yang dilakukan di Papua dinikmati oleh kaum imigran yang tinggal di kota-kota di Papua. Sementara orang Papua yang semakin termarginal tidak menikmati apa pun.
Rasa tidak puas akan ketimpangan pembangunan dan lambannya upaya mengentaskan kemiskinan bagi orang Papua menimbulkan aneka gejolak. Namun, sayangnya, setiap gejolak yag muncul selalu ditafsirkan sebagai upaya untuk memisahkan diri dari NKRI. Entah mengapa, Indonesia selalu takut dan alergi terhadap tuntutan orang Papua untuk memisahkan diri? Kalau pembangunan berjalan lancar, kalau saja orang Papua diperhatikan, kalau saja derajat dan martabat hidup orang Papua dihormati, tentu tidak ada suara-suara merdeka/referendum. “Ngapaian orang Papua berteriak merdeka, kalau mereka sudah sejahtera?” Justru keterpurukan hidup yang mereka alami selama ini mendorong mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang tidak kunjung berubah.
Sampai saat ini, pembangunan untuk Papua belum memadai. Aneka kebijikan dan peraturan yang dibuat untuk menyejahterakan orang Papua belum mampu membawa perubahan bagi hidup orang Papua. Mengapa? Hal yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada kepercayaan dan penghargaan terhadap martabat manusia Papua sebagai pemilik sah atas tanah Papua. Orang Papua selalu dicurigai. Tidak ada lagi kepercayaan terhadap orang Papua, sebab setiap orang Papua yang memiliki pikiran dan tindakan kritis selalu dicap sebaga separatis.
Bentuk kecurigaan pemerintah Republik Indonesia terhadap orang Papua termanifestasi dalam dan melalui kehadiran aparat militer yang tidak dapat dibendung. Di mana-mana di tanah Papua dibangun pos-pos militer untuk mengawasi gerak hidup orang Papua. Akibatnya, orang Papua tidak merasa nyaman di atas tanahnya sendiri.
Kita patut merenung: “Orang Papua sudah hidup menderita, selalu diawasi, dan diberi aneka stigma negatif. Bagaimana rasanya hidup menderita di atas tanah yang kaya raya? Bagaimana menyaksikan orang lain hidup kaya raya sementara para pemilik tanah ini hidup melarat?”
About mediasi rakyat
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Karel Megy, Wakil Ketua II PRD Kaimana Papua Barat dalam tahun 2016 dijadikan target Expedisi Negara Indonesia. Expedisi yang akan ...
-
Suhu politik Papua Merdeka yang makin membumbung tinggi di permukan Dunia membuat gementar Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehing...
-
Permasalahan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terjadi sejak permulaan integrasi Papua ke dalam NKRI. Proses i...
-
KNPB DAN PRD KAIMANA MENDUKUNG VANUATU DAN SOLOMON MEMBAWAH MASALAH DALAM SIDANG UMUM PBB DI NEW YORK. Foto Mendukung Vanuatu Solomon I...
-
Hari ini, 2 Oktober 2015 telah melaksanakan Penutupan Duka Nasional dan telah melaksanakan Kesepakatan Bersama di Kantor KNPB/PRD Timika...
-
Knpbnews, Timika — Kerja Badan Inteljen Negara (BIN) dengan menggunakan Kamera pemantau perekam lewat udara memantau aktivitas ...
-
Kaimana- KNPB News : Hari ini sabtu 5 September 2015, sejak pikul 6.00 Waktu Papua Barat Rakyat Papua Barat berkumpul di halaman Seker...
-
“BANGKITKAN SUARA KENABIAN DALAM GEREJA.” RENUNGAN MENYIKAPI KOMENTAR MENKOPULHUKAM TENTANG GEREJA JANGAN BERPOLITIK “Dalam...
-
KNPB & PRD Bersama Rakyat Memohon Dukungan ACP KNPB News: Kaimana. 31 April 2016, Bersamaan dengan aksi demo damai yang ...
-
4 PERISTIWA PULUHAN ORANG MENINGGAL DUNIA DI PAPUA, KITA HARU MELAWAN KEJAHATAN KEMANUSIAN DAN HEGEMONI KOLONIAL INDONESIA
Tidak ada komentar: